Sabtu, 23 Juli 2011

MENEGAKKAN TIANG EKONOMI NEGARA DENGAN MENCIPTAKAN WIRAUSAHAWAN DOMESTIK

Pada Tanggal 2 Februari 2011 Menteri Koperasi dan UKM, Sjafrudin Hasan telah menyatakan Gerakan Nasional Kewirausahaan Nasional yang menandakan bahwa pemerintah serius menciptakan para entrepeneurship untuk mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi negara sehingga dapat dikatakan sebagai negara maju. Jumlah entrepeneurship di Indonesia baru mencapai 0,24% sedangkan di negara maju jumlah entrepeneurship mencapai 2%. Ketua DPR, Bapak Marzuki Alie juga menyampaikan dalam tulisan mengenai “Kewirausahaan Dalam Rangka Kebangkitan Nasional” pada tanggal 6 Juni 2011 menyatakan Seorang Ilmuwan Amerika bernama David McClelland, pernah menjelaskan bahwa suatu negara disebut makmur jika mempunyai jumlah wirausahawan minimal 2% dari jumlah penduduknya. Namun, saat ini jumlah pengusaha Indonesia hanya 0,24% dari jumlah penduduk. Jika jumlah penduduk Indonesia sekitar 240 juta, maka negeri ini membutuhkan setidaknya 4,2 juta pengusaha lagi untuk mencapai minimal 2% jumlah usahawan.Hal ini sebenarnya masih minim dibandingkan persentase di negara-negara lain. Sebagai contoh, jumlah pengusaha di Singapura mencapai 7,2% dari jumlah penduduk, Malaysia 2,1%, Thailand 4,1%, Korea Selatan 4%, China dan Jepang 10%, sementara Amerika Serikat 11,5%. Lantas, apakah dengan program Gerakan Nasional Kewirusahaan Nasional yang dideklarasikan oleh Menteri Koperasi dan UKM akan menciptakan wirausahawan-wirausahawan yang dapat mengurangi kemiskinan dan pengangguran di Indonesia?.
Sebenarnya, bila kita berkaca pada data BPS Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan) di Indonesia pada Maret 2011 mencapai 30,02 juta orang (12,49 persen), turun 1,00 juta orang (0,84 persen) dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2010 yang sebesar 31,02 juta orang (13,33 persen). Menurut Republika, jumlah penduduk miskin di Indonesia yang sebesar 30,02 persen ini setara dengan jumlah penduduk di Malaysia. Apabila, pemerintah ingin mempercepat pengurangan penduduk miskin maka diperlukan percepatan pula untuk membangun lapangan kerja baru dengan menciptakan wirausahawan yang mandiri dan mampu menciptakan lapangan kerja padat karya. Menciptakan wirausahawan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Hal yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah dengan membentuk sistem pendidikan yang menciptakan entrepreneurs handal sebagai contoh MIT (Massachusette Institute Technology) dimana dalam kurun waktu tahun 1980-1996 ditengah pengangguran terdidik yang semakin meluas dan kondisi ekonomi, sosial politik yang kurang stabil, MIT merubah arah kebijakan perguruan tingginya dari high Learning Institute dan Research University menjadi Entrepreneurial University. Meskipun banyak pro kontra terhadap kebijakan tersebut namun selama kurun waktu diatas (16 tahun) MIT mampu membuktikan lahirnya 4 ribu perusahaan dari tangan alumni-alumninya dengan menyedot 1.1 juta tenaga kerja dan omset sebesar 232 miliar dolar pertahun. Permasalahannya, orang-orang yang mau masuk dalam Entrepreneurial University mengeluarkan uang yang tidak sedikit agar bisa menikmati pendidikan yang berkualitas. Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah memberikan kontribusi nyata dalam menghasilkan entrepreuneurship  dan mengapresiasi keberadaan Entrepreneurial University. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh pemerintah terkait dua hal ini. Pertama, mencari bibit mahasiswa berjiwa Entrepeneurship dan berkualitas dari unversitas-universitas di seluruh Indonesia. Kedua, mengintegrasikan output dari Entrepreneurial University ke dalam Program Gerakan Kewirausahaan Nasional Yang dicanangkan pemerintah. Ketiga,pemerintah harus mulai merubah maindset dengan tidak hanya memfokuskan pada output wirausahawan yang kesulitan modal saja, namun juga memperhatikan terhadap proses baik melalu pendidikan yang berkualitas dan murah, mendorong keterlibatan semua pihak termasuk pengusaha, dan memberikan kemudahan berusaha bagi wirausahawan-wirausahawan baru.

Selasa, 05 Juli 2011

Hukum Cinta

Sebuah tulisan yang sy kutip dari sebuah blog lainnya mengenai cinta yang menurut sy menarik dan patut dikaji kebenarannya. Tulisannya berisikan tentang Hukum Cinta:

HUKUM CINTA

  • Jika kamu mencintai seseorang dan dia tidak membalasnya, jangan salahkan dirimu, tidak ada yang salah dengan dirimu. Karena cinta hanya memilih untuk tidak bersemayam di dalam hatinya.
  • Jika kamu dicintai seseorang dan kamu tidak mencintainya, kamu harus merasa terhormat karena cinta datang mengetuk pintu hatimu. Namun tolaklah dengan lembut anugrah yang tak dapat kamu balas ini. Janganlah kamu ambil keuntungan darinya dan janganlah kamu berbuat yang menyakitkan. Bagaimana kamu memperlakukan cinta adalah bagaimana kamu memperlakukan dirimu sendiri. Karena semua hati merasakan rasa bahagia dan rasa pedih yang sama, meskipun hidup yang kita jalani berbeda-beda.
  • Jika kamu mencintai seseorang dan ia membalasnya, namun cinta memutuskan untuk pergi. Tak usah kamu berusaha meraihnya kembali atau bahkan menyalahkan. Relakanlah, karena semua kejadian mempunyai alasan dan mempunyai makna dan hikmah dibaliknya. Waktu yang kan membuka semuanya.
  • Ingatlah, bahwa bukan dirimu yang memilih cinta, namun cinta yg memilih kamu. Yang dapat kamu lakukan hanyalah menerimanya dengan segala rasa gembira dan bahkan rasa sakit yang diakibatkannya. Nikmati kebahagiaan yang meluap-luap saat dia memasuki hidupmu dan ikhlaskanlah saat dia pergi meninggalkanmu.
  • Banyak orang yang salah mengartikan cinta. Mereka berpikir kalau cinta sebagai sebuah kebutuhan. Merasa seakan-akan hati adalah gelas yang kosong dan perlu diisi dengan cinta. Merasa kalau cinta adalah sesuatu yang mengalir kepada mereka, bukan dari mereka. Mereka lupa makna cinta sebagai sebuah anugrah, bahwasanya cinta bisa berkembang jika kita memberikannya kepada orang lain.
  • Satu hal yang harus kamu ingat dan camkan dalam hati. Cinta punya masanya, punya musimnya dan punya alasannya sendiri untuk datang dan pergi. Kamu tak bisa membujuknya atau bahkan memaksanya untuk datang dan tinggal.
  • Saat cinta memutuskan untuk pergi meninggalkan hatimu atau hati orang yang kamu cintai, tak ada yang bisa kamu lakukan dan tak ada yang harus kamu lakukan. Cinta selalu dan akan terus menjadi sebuah misteri dan keajaiban. Bahagialah karena cinta pernah datang dan hidup dalam hatimu, meski hanya sesaat [1].

Pendapat penulis akan dituangkan dalam tulisan yang lain. Dan bagi yang tertarik dengan pendapat blog di atas tentang hukum cinta sebaiknya mulai mengkaji bagaimana cinta itu sebenarnya ? 



Senin, 04 Juli 2011

Menciptakan Pemilihan Raya Mahasiswa yang Berkualitas

Dua kali penulis ikut dalam penyelenggaraan pemilihan raya mahasiswa (Pemira) sebagai salah satu orang yang bertugas memutus sengketa dalam Pemira. Selama keikutsertaan tersebut, penulis mempelajari banyak hal salah satunya adalah bagaimana menerapkan ilmu hukum dalama kehidupan berdemokrasi di Universitas melalui aturan yang sudah disiapkan oleh badan eksekutif dan badan legislatif mahasiswa di Universitas. Pemira yang berlangsung pun sebenarnya tidak jauh dari pemilu nasional yang dielenggarakan oleh KPU. Pemira di Universitas menjadi contoh yang baik bagi kehidupan berdemokrasi di tingkat nasional.

Sayangnya, Pemira yang diselenggarakan di tingkat Universitas selalu menghadapi kendala. Kendala yang terjadi dapat dikulifikasikan dalam 3 tahapan yang terdiri dari tahapan pra-Pemira, Pemira, dan pasca-Pemira. Pertama,  Tahapan pra-Pemira berarti tahapan dalam pembentukan Undang-Undang paket Pemira yaitu Undang-Undang Tentang Partai Pemira, Undang-Undang Tentang Penyelengaraan Pemira, dan Undang-Undang Tentang Calon Presiden Mahasiswa, Dewan Perwakilan Mahasiswa, Dan Dewan Perwakilan Fakultas. Pembentukan Undang-Undang Pemira sebenarnya dapat berpedoman pada  Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Perauturan Perundang-Undangan beserta penjelasan yang memuat  asas-asas yang harus dipenuhi dalam  pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu:
a. kejelasan tujuan (etiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai).;
b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat (setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang);
c.  kesesuaian antara jenis dan materi muatan (dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis Peraturan Perundang-undangannya);
d. dapat dilaksanakan (setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis);
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan (setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara);
f.  kejelasan rumusan (setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya); dan
g. keterbukaan (dalam proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari pencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai desempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan Peraturan Perundang-undangan) [1]
Pembentukan UU Pemira yang berkualitas akan memudahkan badan penyelenggara Pemira baik Komisi Pemilihan Raya Mahasiswa (KPRM), Badan Pengawas Pemilihan Raya Mahasiswa (Bawasra), dan Mahkamah Pemira. Undang-Undang Pemira yang berkualitas juga memberikan kejelasan bagi peserta Pemira untuk mengikuti Pemira yang berdampak pada ketaatan dan apresiasi positif pada kinerja badan legislatif di tingkat Universitas. Permasalahan yang muncul terkait pembentukan peraturan perundang-undangan juga dalam hal jangka waktu penyusunan Undang-Undang Paket Pemira. Seharusnya Undang-Undang Paket Pemira disusun dalam jauh sebelum penyelenggaraan Pemira. Keseriusan badan legislatif dan eksekutif di tingkat universitas merupakan sebuah keniscayaan Dengan demikian kinerja badan penyelenggara Pemira dapat maksimal dan tidak terkesan terburu-buru.
Kedua, Tahapan Pemira tidak bisa dilepaskan dari kinerja badan-badan penyelenggara Pemira dan peserta Pemira untuk menciptakan Pemira sebagai sarana demokrasi yang berlandaskan hukum. hal ini dapat dimulai dari 
a. masing-masing badan penyelenggara pemira untuk memahami UU Paket Pemira, apabila terjadi kesulitan dalam memahamai Undang-Undang Paket Pemira maka badan-badan penyelenggara Pemira dapat memanggil pihak-pihak yang terkait untuk mendapat penjelasan berkaitan dengan pasal-pasal yang tidak jelas dengan dilakukannya forum bersama antara badan-badan penyelenggara Pemira dengan badan yang menjalankan fungsi Legislatif di Tingkat Universitas. Forum tersebut dilakukan dengan kesadaran yang tinggi akan independesi badan penyelenggara Pemira; 
b. sosialisasi yang memadai akan tugas dan kewenangan badan-badan penyelenggara pemira serta peraturan-peraturan yang penting untuk dikeluarkan;
c. Pentingnya pemahaman masing-masing badan-badan penyelenggara Pemira akan peranan masing-masing berdasarkan UU paket Pemira
d. Peserta pemira harus memahami Undang-Undang paket Pemira dan menjalankannya meskipun ada kekurangannya. Kekurangan yang berkaitan dengan formiil dilakukan dengan memperbaiki suatu UU melalu proses legislasi, dalam hal kekurangan secara materiil maka diserahkan pada hakim untuk melakukan penafsiran dan penemuan hukum. 
Ketiga, tahapan pasca Pemira yang berkaitan dengan hasil dari Pemira yang bertujuan memilih Presma, DPF, dan DPM. Setiap peserta Pemira diberikan hak untuk mengajukan gugatan terhadap hasil Pemira yang dianggap bermasalah. Namun haruslah dilihat secara jelas bagaimana ketentuan dalam pengajuan gugatan terhadap hasil Pemira. 

Akhirnya, menciptakan Pemira yang berkualitas memerlukan kerjasama semua civitas akademika agar Pemira menjadi sebuah kebutuhan bukan keterpaksaan. 

Daftar Pustaka
[1] Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perudang-Undangan

Sabtu, 02 Juli 2011

The Languange Of Soul In June (Sebuah Pembelajaran Hidup)

Sebuah tulisan di Kompas yang berjudul Passion: The Languange Of The Soul [1], menggugah pikiran sy akan kebahagiaan. Passion menurut Rene' setelah mengumpulkan pendapat dari teman-temannya di twitter adalah:
1. Bahasa atau instrumen bagi jiwa (baca; jati diri hakiki) untuk memastikan hidup yang dijalani saat ini adalah kehidupan yang bahagia dan bermakna
2. kehidupan yang sesungguhnya baru dimulai saat ada kejujuran, keberanian, dan kepedulian untuk menjalaninya sesuai dengan bahasa jiwa (baca: passion) [2].
Seringkali kita terkungkung dalam keragu-raguan untuk bertindak karena khawatir apa yang kita lakukan akan berdampak buruk bagi nama baik kita. gengsi, malu, dan ketidakpercayaan diri membuat kita kehilangan kemampuan untuk memutuskan sesuatu yang baik bagi diri kita. kita kehilangan bahasa jiwa kita untuk melakukan sesuatu hal yang menjadikan hidup kita lebih bermakna bagi agama, bangsa, dan negara. Akibatnya kita baru menyadari pada suatu waktu jika kita telah membuang kesempatan emas yang dapat memberikan kebahagiaan bagi hidup kita, kepuasan batin yang memberikan pengaruh postif bagi kita. Akhirnya kita terkungkung dalam paradigma kegagalan dalam kehidupan kita yang menghilangkan semangat untuk menjadi pribadi yang baik di mata Tuhan, Keluarga, dan Lingkungan kita.
Bagi saya cara yang terbaik untuk mengeluarkan passion dalam diri kita adalah dengan mengeluarkan keberanian dalam diri kita untuk mengatasi rasa takut dan memikirkan hal-hal yang positif agar antara jiwa dan raga, antara hati nurani dan perbuatan dapat saling berhubungan satu sama lain dan menghasilkan sesuatu yang bermakna luar biasa bagi diri kita dan orang lain.
Memang mengeluarkan passion dalam diri kita tidaklah mudah apalagi dalam kehidupan yang kita jalani seringkali ada banyak hal yang menerpa.  Kita harus menyadari bahwa setiap halangan yang menerpa adalah bagian dari peningkatan kualitas diri kita. Jodoh, Rizki, Kematian sudah ada yang mengatur dan kita tinggal berusaha sebaik mungkin melakukan segala sesuatu yang diajarkan dalam Agama agar menemukan takdir kita yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat atau sebaliknya kesengsaraan dunia dan akhirat. Tidak mudah memang menemukan kebahagian tersebut tapi bukan sesuatu yang tidak mungkin, karena setiap orang diberikan kesempatan yang sama oleh Allah SWT untuk menjadi baik dan lebih baik, menggapai hidayah yang diberikan setiap waktu, dan bergantung kepada kita untuk meraihnya.
Akhirnya, dalam akhir tulisan Rene' Suhardono disebutkan cara untuk menyuarakan passion dalam kehidupan kita yaitu dengan jalan komunikasikan passion dalam beragam jenis instrumen yang tersedia. Terus menerus suarakan hingga anda merasa semua terjadi tanpa beban atau paksaan. Saat itulah passion beralih dari pemikiran menjadi sesuatu yang nyata [3]. Semoga menjadi renungan yang menarik untuk kita semua.

Daftar Pustaka
[1] Kompas, edisi cetak, Sabtu Tanggal 2 Juli 2011, hlm. 34
[2] ibid
[3] ibid



Jumat, 01 Juli 2011

Dimanakah Perlindungan Bagi "Whistle Blower" dalam Tindak Pidana Korupsi?

Secara umum pengertian  whistleblower adalah orang-orang yang mengungkapkan fakta kepada publik mengenai sebuah skandal, bahaya, malpraktik, mal-administrasi maupun korupsi [1]. Dalam berbagai negara kasus yang menjadi perhatian dalam konteks whistleblower terkait dengan perbuatan yang melanggar hukum, perbuatan yang tidak pantas, dan kelalaian yang mempengaruhi kepentingan umum; bahaya terhadap kesehatan dan keselamatan umum; dan bahaya terhadap lingkungan. Oleh karena itu maka konteks  whistleblower  ini tidak hanya mencakup masalah criminal (pidana) tapi mencakup bidang yang lebih luas. Dalam prakteknya dibedakan antara  whistleblower  dengan para pelapor  dan informan. Namun perbedaan utamanya adalah para whistleblower tidak akan memberikan kesaksiannya langsung di muka persidangan (peradilan), jadi jika ia memberikan kesaksiannya ke muka persidangan, maka statusnya kemudian menjadi “saksi”.  Para whistleblower ini sangat rentan akan intimidasi dan ancaman karena status hukumnya (di Indonesia)  tidak diakui. Dalam kasus pidana korupsi, mereka biasanya disebut sebagai para pelapor (dikategorikan saja secara sederhana berdasarkan KUHAP)[2].
Adapun pengertian whistleblower  menurut PP No.71 Tahun 2000 adalah orang yang memberi suatu informasi kepada penegak hukum atau komisi mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi dan bukan pelapor[3]. Perlindungan bagi whistleblower apabila merujuk pada UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban tidak dijelaskan secara implisit, namun secara eksplisit dapat dilihat dalam pasal 10 Tahun 2006 yang berbunyi: “Seorang saksi yang juga terdakwa dalam kasus sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana jika ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan. Tetapi kesaksiannya bisa dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang dijatuhkan”Menurut pakar hukum pidana UGM, Eddy O.S. Hiariej, bahwa Pasal 10 Ayat (2) UU No.13 Tahun 2006 adalah bertentangan dengan semangat Whistleblower, Karena pasal ini tidak memenuhi prinsip perlindungan terhadap seorang Whistleblower, dimana yang bersangkutan tetap akan dijatuhi hukuman pidana bilamana terlibat dalam kejahatan tersebut [3]. Lebih lanjut Eddy O.S. Hiariej memberikan penilaian bahwa pasal 10 Ayat (1) dan Ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 terdapat 3 (tiga) kerancuan.Pertama, saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama akan menghilangkan hak excusatie terdakwa. Hal ini merupakan salah satu unsur objektifitas peradilan. Ketika Whistleblower sebagai saksi dipengadilan maka keterangannya sah sebagai alat bukti jika diucpkan dibawah sumpah. Apabila Whistleblower berstatus sebagai terdakwa yang diberikan tidak dibawah sumpah.Kedua, disitulah letak adanya ambigu, siapa yang akan disidangkan terlebih dahulu atau disidangkan secara bersamaan.Ketiga, ketentuan Pasal 10 Ayat (2) UU No.13 Tahun 2006 bersifat contra legem dengan ayat (1) dalam pasal dan Undang-Undang yang sama, pada hakikatnya menyebutkan bahwa saksi, korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikan [4].
Dalam rangka perlindungan saksi dan korban diperlukan penyesuaian dengan Psl 33 UNCAC (Corruption Assessment and Compliance United Nation Convention Against Corruption) yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006: Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan untuk mengatur tentang upaya untuk melindungi ketidakadilan yang diterima pelapor yang beritikad baik dan didukung oleh alasan yang rasional[5].


Daftar Pustaka
[1]http://perlindungansaksi.files.wordpress.comPengertian Saksi & Perlindungan Bagi “Para Pelapor”  Haruslah  Di Perluas, tanggal 1 Juli 2011 jam 22.30 diakses pada http://perlindungansaksi.files.wordpress.com/2008/05/02-perlindungan-bagi-pelapor-bahan-lobby.pdf 
[2] ibid
[3]pn-purworejo.go.idDr. H. Anwar Usman, SH., MH. dan Dr. AM. Mujahidin, MH.,Whistleblower Dalam Perdebatan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tanggal 1 Juli 2011 jam 22.30, dapat diakses pada pn-purworejo.go.id/.../WHISTLEBLOWER%20DALAM%20PERDEBATA...
[4] ibid
[5]http://www.elsam.or.idHarmonisasi & Prospek UU Perlindungan Saksitanggal 1 Juli 2011 jam 22.45, dapat diakses pada http://www.elsam.or.id/pdf/Harmonisasi_&_Prospek_UU_PSK.pdf

Gagasan Tulisan

Kata-kata tanpa tindakan adalah pembunuh idealisme. (Herbert Hoover (1874-1964), politisi dan insinyur pertambangan).    


Seringkali penulis berdiskusi dengan orang-orang yang memiliki pemikiran yang luar biasa dalam menyelesaikan suatu permasalahan dan rasanya sayang jika dalam diskusi yang berarti tersebut tidak dituangkan kembali hasil-hasil diskusi tersebut dalam sebuah tulisan. begitu juga ketika ada sebuah peristiwa hukum seringkali penulis merasa perlu menyusun suatu opini yang berdasarkan ilmu hukum sekedar memuaskan keinginan penulis menjawab permasalahan hukum. Ketika waktu luang tiba, seringkali penulis merasakan kerinduan yang sangat akan forum maupun informasi yang menggugah penulis menuangkan dalam sebuah tulisan. Seringkali pula, permasalahan-permasalahan diri maupun lingkungan sekitar menggelitik penulis untuk menuangkan hasil observasi dalam sebuah tulisan

Meskipun penulis menyadari kalo akan banyak kekurangan namun tidak bisa dipungkiri hasrat untuk menulis begitu besar sehingga apapun masukan yang membangun tulisan ini penulis menerima dengan lapang dada. Dan akhirnya di tengah kesulitan dan pencarian jati diri, tulisan bagi penulis adalah ungkapan pemikiran dan kegelisahan diri untuk menemukan hikmah dalam kehidupan