Senin, 04 Juli 2011

Menciptakan Pemilihan Raya Mahasiswa yang Berkualitas

Dua kali penulis ikut dalam penyelenggaraan pemilihan raya mahasiswa (Pemira) sebagai salah satu orang yang bertugas memutus sengketa dalam Pemira. Selama keikutsertaan tersebut, penulis mempelajari banyak hal salah satunya adalah bagaimana menerapkan ilmu hukum dalama kehidupan berdemokrasi di Universitas melalui aturan yang sudah disiapkan oleh badan eksekutif dan badan legislatif mahasiswa di Universitas. Pemira yang berlangsung pun sebenarnya tidak jauh dari pemilu nasional yang dielenggarakan oleh KPU. Pemira di Universitas menjadi contoh yang baik bagi kehidupan berdemokrasi di tingkat nasional.

Sayangnya, Pemira yang diselenggarakan di tingkat Universitas selalu menghadapi kendala. Kendala yang terjadi dapat dikulifikasikan dalam 3 tahapan yang terdiri dari tahapan pra-Pemira, Pemira, dan pasca-Pemira. Pertama,  Tahapan pra-Pemira berarti tahapan dalam pembentukan Undang-Undang paket Pemira yaitu Undang-Undang Tentang Partai Pemira, Undang-Undang Tentang Penyelengaraan Pemira, dan Undang-Undang Tentang Calon Presiden Mahasiswa, Dewan Perwakilan Mahasiswa, Dan Dewan Perwakilan Fakultas. Pembentukan Undang-Undang Pemira sebenarnya dapat berpedoman pada  Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Perauturan Perundang-Undangan beserta penjelasan yang memuat  asas-asas yang harus dipenuhi dalam  pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu:
a. kejelasan tujuan (etiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai).;
b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat (setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang);
c.  kesesuaian antara jenis dan materi muatan (dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis Peraturan Perundang-undangannya);
d. dapat dilaksanakan (setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis);
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan (setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara);
f.  kejelasan rumusan (setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya); dan
g. keterbukaan (dalam proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari pencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai desempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan Peraturan Perundang-undangan) [1]
Pembentukan UU Pemira yang berkualitas akan memudahkan badan penyelenggara Pemira baik Komisi Pemilihan Raya Mahasiswa (KPRM), Badan Pengawas Pemilihan Raya Mahasiswa (Bawasra), dan Mahkamah Pemira. Undang-Undang Pemira yang berkualitas juga memberikan kejelasan bagi peserta Pemira untuk mengikuti Pemira yang berdampak pada ketaatan dan apresiasi positif pada kinerja badan legislatif di tingkat Universitas. Permasalahan yang muncul terkait pembentukan peraturan perundang-undangan juga dalam hal jangka waktu penyusunan Undang-Undang Paket Pemira. Seharusnya Undang-Undang Paket Pemira disusun dalam jauh sebelum penyelenggaraan Pemira. Keseriusan badan legislatif dan eksekutif di tingkat universitas merupakan sebuah keniscayaan Dengan demikian kinerja badan penyelenggara Pemira dapat maksimal dan tidak terkesan terburu-buru.
Kedua, Tahapan Pemira tidak bisa dilepaskan dari kinerja badan-badan penyelenggara Pemira dan peserta Pemira untuk menciptakan Pemira sebagai sarana demokrasi yang berlandaskan hukum. hal ini dapat dimulai dari 
a. masing-masing badan penyelenggara pemira untuk memahami UU Paket Pemira, apabila terjadi kesulitan dalam memahamai Undang-Undang Paket Pemira maka badan-badan penyelenggara Pemira dapat memanggil pihak-pihak yang terkait untuk mendapat penjelasan berkaitan dengan pasal-pasal yang tidak jelas dengan dilakukannya forum bersama antara badan-badan penyelenggara Pemira dengan badan yang menjalankan fungsi Legislatif di Tingkat Universitas. Forum tersebut dilakukan dengan kesadaran yang tinggi akan independesi badan penyelenggara Pemira; 
b. sosialisasi yang memadai akan tugas dan kewenangan badan-badan penyelenggara pemira serta peraturan-peraturan yang penting untuk dikeluarkan;
c. Pentingnya pemahaman masing-masing badan-badan penyelenggara Pemira akan peranan masing-masing berdasarkan UU paket Pemira
d. Peserta pemira harus memahami Undang-Undang paket Pemira dan menjalankannya meskipun ada kekurangannya. Kekurangan yang berkaitan dengan formiil dilakukan dengan memperbaiki suatu UU melalu proses legislasi, dalam hal kekurangan secara materiil maka diserahkan pada hakim untuk melakukan penafsiran dan penemuan hukum. 
Ketiga, tahapan pasca Pemira yang berkaitan dengan hasil dari Pemira yang bertujuan memilih Presma, DPF, dan DPM. Setiap peserta Pemira diberikan hak untuk mengajukan gugatan terhadap hasil Pemira yang dianggap bermasalah. Namun haruslah dilihat secara jelas bagaimana ketentuan dalam pengajuan gugatan terhadap hasil Pemira. 

Akhirnya, menciptakan Pemira yang berkualitas memerlukan kerjasama semua civitas akademika agar Pemira menjadi sebuah kebutuhan bukan keterpaksaan. 

Daftar Pustaka
[1] Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perudang-Undangan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar